Skip to main content

Sekolah Berstandar atau Bertarif International?

Apa sih yang disebut dengan sekolah standar internasional? Bagaimana mengukur suatu lembaga pendidikan memiliki standar internasional? Secara sederhana dapat dikatakan bahwa suatu sekolah disebut sekolah internasional jika:
  • Ada diantara peserta didiknya yang berasal dari luar negeri, hehehe…
  • Manajemen, Kurikulum dan tetek bengek lainnya memang ikut serta atau mengacu pada apa yang berlaku dan diakui oleh banyak Negara.
Status internasional atau tidak, tidaklah mempengaruhi bagaimana proses pembelajaran di bangku sekolah, pasalnya standar lembaga pendidikan ideal telah disepakati bagi lembaga pendidikan di Indonesia. Standar tersebut antara lain:
  1. Materi (Standards of Contents)
  2. Proses pembelajaran (Learning and Teaching Process)
  3. Kompetensi Kelulusan (Passing Grade Competence)
  4. Guru (Teachers)
  5. Infrastruktur (Infrastructure) 
  6. Manajemen (Managemet)
  7. Pendanaan/Pembiayaan (Cost and Financing)
  8. Evaluasi (Educational Evaluation) 
Kebetulan tadi siang, saya (dan rekan-rekan sekolah) bertemu dengan kepala sekolah sebuah sekolah internasional yang ada di Malaysia, dari hasil paparan beliau saya kemudian menyimpulkan bahwa ada sesuatu yang salah kaprah dengan label internasional yang melekat pada suatu institusi pendidikan.  Bahkan lebih jauh lagi saya kemudian memandang bahwa predikat internasional merupakan salahsatu bentuk ketidakpercayaan diri bangsa ini terhadap proses pendidikan made in Indonesia. 

Ini dibuktikan dengan tuntutan adanya ijazah atau pengakuan dari lembaga kredibel yang diakui di banyak Negara, seperti: Cambridge (lihat http://www.cie.org.uk/) dan asal tahu saja, ‘meminta’ lisensi ijazah Cambridge tidaklah murah, untuk ukuran Indonesia sangatlah mahal. Tidak heran jika kemudia sekolah yang memakai embel-embel internasional biasanya berasal dari lingkungan elit (baca: mampu). 

Jika permasalahan seputar kemampuan ekonomi dipinggirkan dulu, maka akan muncul permasalahan lain. Apa itu? Yaitu masalah identitas bangsa yang juga terpinggirkan karena semuanya serba di ukur dengan Patokan luar negeri. Saat ini, jika _lagi-lagi, Cambridge dijadikan acuan misalnya, maka yang berpeluang besar adalah sekolah-sekolah umum!, pasalnya kurikulum (baca:pelajaran) tidaklah jauh berbeda dengan apa  yang disampaikan diluar negeri. Bagaimana dengan sekolah non-umum?

Sekolah non-umum seperti pesantren dan Madrasah lebih menderita lagi… pasalnya tidak ada lembaga seperti Cambridge yang khusus memayungi sekolah Islam. Waduh… kok saya jadi bingung sendiri dengan maksud Madrasah Berstandar Internasional ya?? Ada saran????..


medio Mei 2010

Comments

Popular posts from this blog

Muallimin dulu, sekarang dan nanti

   Baru saja, tanpa sengaja saya menemukan sebuah leaflet tentang Muallimin Yogyakarta, saya perkirakan dicetak pada tahun 1994-an, karena di halaman belakang jumlah asramnya baru 5 tempat (asrama dekat masjid Al-barokah). Biasa-biasanya pertama menemukannya, ah.. masih ada to buku lama pikirku. Tetapi ada sesuatu yang menarik di halaman sebelum terakhir, yaitu halaman yang memuat komentar Alumni (Prof., DR. Syafii Maarif, DR. Khoiruddin Bashori., Drs. Med, Athailla A. Latif dan Zamroni A.S.,B.A.).    Buya Syafii menceritakan bagaimana kebesaran Mu’allimin sebagai sebuah mercusuar yang dikenal dalam proses pembentukan KEPRIBADIAN dan wawasan keagamaan yang diasuh oleh ulama-ulama beken seperti: KH. Jazari Hisyam, KH. Mahfudzh Siradj, Kyai Balia Umar dan sebagianya. Dalam komentarnya, Buya Syafii menegaskan akan penting Muallimin sebagai sekolah yang diperlukan dalam memberikan fondasi kepribadian dan wawasan keagamaan bagi calon-calon pejuang Islam di Neger

Sebuah Buku dan Kakek (bag. 2)

Rasa penasaran saya mulai sedikit terjawab ketika saya pulang (5-7 April 2012),  saya menyempatkan diri bermain ke rumah nenek, dan kebetulan ada bude yang datang, kemudian terjadi obrolan antara kami (nenek, ibu, paman dan bude (yang kebetulan alumni Madrasah Mu'allimaat tahun 60’an?) tentang tentang kakek, yang saya penasaran karena belum pernah bertemu.. obrolan ini akan saya buat menjadi sebuah catatan petite history, catatan berupa rangkaian cerita yang menghilangkan bentuk dialog murni seperti halnya ada dalam sebuah obrolan/percakapan yang membentuk alur cerita. Alkisah , kakek adalah satu-satunya anak lelaki (juga menjadi anak pertama) dari 9 bersaudara, dilahirkan pada tahun 1912  (tahun ini saya rasa hanya perkiraan belaka) di Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul. Tidak ada keterangan lebih detail  bagaimana kehidupan beliau dimasa kecil, tetapi ada suatu kejadian yang menarik bahwa suatu saat ketika beliau sedang di kebun tiba-tiba terlintas dalam benaknya bahwa kal

Mari Sekolah Tanpa Kekerasan

     Judul tulisan ini bisa jadi satu keganjilan bagi sebagian orang, pasalnya, suatu keganjilan ketika ada sekolah yang menyuburkan tindakan kekerasan!. Lalu sebenarnya apakah kekerasan itu betul-betul ada dalam suatu lembaga pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai kebersamaan atau keadilan bagi anggota sekolah tersebut (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa)? Kalau diibaratkan, sekolah adalah suatu keluarga. Ini yang perlu disadari oleh semua orang yang turut serta dalam proses pendidikan disebuah lembaga pendidikan, apapun bentuk lembaga tersebut!       “dunia ini adalah panggung sandiwara”, mungkin ada yang pernah mendengar lagu yang dilantunkan oleh Nicky Astria (alm) pada tahun 90-an?.. ya, dunia ini pada hakikatnya merupakan panggung sandiwara yang besar, dimana didalamnya banyak sekali jenis pemain. Sekolah (dalam konteks tulisan ini) merupakan panggung sandiwara!, pemainnya terdiri atas: Penindas (subyek), Tertindas (obyek) dan Penonton.