Skip to main content

Muallimin dulu, sekarang dan nanti

   Baru saja, tanpa sengaja saya menemukan sebuah leaflet tentang Muallimin Yogyakarta, saya perkirakan dicetak pada tahun 1994-an, karena di halaman belakang jumlah asramnya baru 5 tempat (asrama dekat masjid Al-barokah). Biasa-biasanya pertama menemukannya, ah.. masih ada to buku lama pikirku. Tetapi ada sesuatu yang menarik di halaman sebelum terakhir, yaitu halaman yang memuat komentar Alumni (Prof., DR. Syafii Maarif, DR. Khoiruddin Bashori., Drs. Med, Athailla A. Latif dan Zamroni A.S.,B.A.).
   Buya Syafii menceritakan bagaimana kebesaran Mu’allimin sebagai sebuah mercusuar yang dikenal dalam proses pembentukan KEPRIBADIAN dan wawasan keagamaan yang diasuh oleh ulama-ulama beken seperti: KH. Jazari Hisyam, KH. Mahfudzh Siradj, Kyai Balia Umar dan sebagianya. Dalam komentarnya, Buya Syafii menegaskan akan penting Muallimin sebagai sekolah yang diperlukan dalam memberikan fondasi kepribadian dan wawasan keagamaan bagi calon-calon pejuang Islam di Negeri ini. Tetapi, Buya juga mengingatkan bahwa:  kondisi masyarkat telah berubah, zaman sekarang jauh lebih maju dibandingkan dengan masa dia (Buya Syafi’i) lulus dari Mu’allimin, dulu dengan hanya berbekal kemualliminannya saja sudah cukup untuk terjun ke tengah-tengah masyarakat karena sebagian besar masyarakat buta huruf!
   Kak Irud (panggilan DR Khoiruddin B) berkomentar bahwa masuknya ke Mu’allimin karena ‘dipaksa’ orangtua yang fans berat M3in, jadi keluarganya memang Muin-Muaters sejati…  dalam komentarnya, kak Irud menyinggung beberapa sikap di Muallimin seperti : disiplin, hidup bersih, kerja keras, berani memimpin dan banyak menghafal.. pada akhirnya menyimpulkan bahaw menjadi pemimpin umat itu cerdas saja tidak cukup, tetapi harus di tunjang dengan kepribadian yang Kuat (strong personality).. 
   Senada dengan kak Irud, Kak Athaillah juga memberikan komentar yang intinya kehidupan di Mu’allimin memberikan ‘rasa’ sendiri dalam kaitannya dengan kehidupan selepas dari Muallimin
  Pak Zamroni lain lagi, beliau pada awalny tertarik dengan Muallimin karena alumni-alumninya yang kebetulan menjadi GURU Sekolah Menengah Islam di Imogiri merupakan sosok yang ulet dalam belajar, kualitas keagamaan  dan keilmuan yang handal. Di Muallimin beliau merasakan gemblengan yang luar biasa yang berefek pada kontribusinya bagi masyarkat luar.
   Dari beberapa komentar di atas, nampaknya yang menjadi poin penting bagi alumni Muallimin adalah apa yang sekarang disebut dengan pendidikan karakter (pendidikan karakter menjadi 'penting' pasca kasus plagiat karya tulis memang di Indonesia. Lihat KOMPAS sabtu 20 Februari 2010).. ternyata, tanpa kita sadari Muallimin (dulu) sudah lekat dengan nilai atau karekter seorang pejuang istilah kerennya murid Muallimin itu mempunyai prinsip. Ini kemudian yang menjadikan saya ingat dengan beberapa cerita dengan setting tahun 90-an, dimana dalam skala daerah Jogjakarta (khususnya Muhammadiyah).. contohnya adalah, akhir tahun 80-an, Muallimin meraih _kalo tidak salah, juara 1-2-3 untuk semua kelas, hanya Muallimin sajalah yang 'mampu' mengimbangi hegemoni kauman sebagai pusat Tapak suci, artinya.. sudah lama Muallimin itu mempunyai karakter kuat, Cuma dalam bentuk yang abstrak, bentuk konkretnya ya harus dicari tahu… mungkin alumni bisa membantu.
   Tapi perlu di catat, 4 komentar di atas diwakili oleh 3 masa yang berbeda, 
Masa 1 (buya Syafii alumni tahun 1956, Pak Zamroni lulus tahun 1959 merupakan alumni dimana mUallimin waktu itu belum diwajibkan berasrama)
Masa 2 (kak Khoirudin B, lulus tahun 1981)… kalau berdasarkan sejarah sih, cukup setahun saja ka Irud merasakan kewajiban asrama.. karena pada tahun 1980, Direktur Muallimin waktu itu, Allahu yarham KH. Suparpto Ibn Juraimi, memberlakukan system ‘long life education” (entah, ada penjabaran secara utuh atau tidak tentang system ini.. tetapi sejauh ini saya belum menemukan langkah-langkah taktis operasionalnya di Muallimin), intinya, ASRAMA menjadi bagian tidak terpisahkan dari pendidikan Mu’allimin. Artinya, tujuan Muallimin yang sesuai dengan idealismenya HANYA BISA DICAPAI dengan memadukan system Madrasah dan Asrama 
Masa 3 adalah kak Athaillah (lulus tahun 1989), kakak kita satu ini jelas produk Muallimin yang sudah mengenal asrama sejak masuk… 
    Iseng-iseng saya membandingkan beberapa komentar tersebut, ternyata sependek pemahaman saya, komentar kesemuanya berbeda tetapi mempunyai satu kesamaan yaitu, pendidikan karakter yang diterima selama di Mu’alliimin. Saya tertegun dengan komentar Buya Syafii yang pada hakikatnya mengingatkan akan perubahan zaman.  dan bagi saya Mu’allimin sebagai akademi pencetak pemimpin Muhammadiyah haruslah pandai-pandai mensiasati perubahan zaman agar senantiasa eksis tanpa kehilangan karakter.
    Walhasil, bisa jadi lebih urgen adalah merumuskan sebuhah proses pendidikan yang sarat akan nilai karakter yang hendak di bangun dan dimiliki oleh mereka yang belajar di Muallimin. Tetapi, lagi-lagi ini nanti terbentur dengan realita system pendidikan nasional yang relative kejam terhadap lembaga pendidikan seperti Muallimin… semuanya di ukur dengan lulus ujian nasional (UNAS)…
     Ah.. barangkali, di reuni nanti ada yang dengan rela hati berbagi tentang pendidikan karakter khas Muallimin (atau bisa cerita atau apalah)… 
Salam hangat


Comments

Popular posts from this blog

Sebuah Buku dan Kakek (bag. 2)

Rasa penasaran saya mulai sedikit terjawab ketika saya pulang (5-7 April 2012),  saya menyempatkan diri bermain ke rumah nenek, dan kebetulan ada bude yang datang, kemudian terjadi obrolan antara kami (nenek, ibu, paman dan bude (yang kebetulan alumni Madrasah Mu'allimaat tahun 60’an?) tentang tentang kakek, yang saya penasaran karena belum pernah bertemu.. obrolan ini akan saya buat menjadi sebuah catatan petite history, catatan berupa rangkaian cerita yang menghilangkan bentuk dialog murni seperti halnya ada dalam sebuah obrolan/percakapan yang membentuk alur cerita. Alkisah , kakek adalah satu-satunya anak lelaki (juga menjadi anak pertama) dari 9 bersaudara, dilahirkan pada tahun 1912  (tahun ini saya rasa hanya perkiraan belaka) di Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul. Tidak ada keterangan lebih detail  bagaimana kehidupan beliau dimasa kecil, tetapi ada suatu kejadian yang menarik bahwa suatu saat ketika beliau sedang di kebun tiba-tiba terlintas dalam benaknya bahwa kal

Mari Sekolah Tanpa Kekerasan

     Judul tulisan ini bisa jadi satu keganjilan bagi sebagian orang, pasalnya, suatu keganjilan ketika ada sekolah yang menyuburkan tindakan kekerasan!. Lalu sebenarnya apakah kekerasan itu betul-betul ada dalam suatu lembaga pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai kebersamaan atau keadilan bagi anggota sekolah tersebut (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa)? Kalau diibaratkan, sekolah adalah suatu keluarga. Ini yang perlu disadari oleh semua orang yang turut serta dalam proses pendidikan disebuah lembaga pendidikan, apapun bentuk lembaga tersebut!       “dunia ini adalah panggung sandiwara”, mungkin ada yang pernah mendengar lagu yang dilantunkan oleh Nicky Astria (alm) pada tahun 90-an?.. ya, dunia ini pada hakikatnya merupakan panggung sandiwara yang besar, dimana didalamnya banyak sekali jenis pemain. Sekolah (dalam konteks tulisan ini) merupakan panggung sandiwara!, pemainnya terdiri atas: Penindas (subyek), Tertindas (obyek) dan Penonton.