Skip to main content

sekolah=Lembaga Pendidikan: Standar Pendidikan



    Menyebut lembaga pendidikan berkualitas, tentu tidak hanya diukur dari kelulusan 100% dalam ujian akhir Nasional, tetapi masih ada 7 (tujuh) indicator lain. Celakanya, kriteria kelulusan UAN seakan menjadi indicator penentu dalam ‘menghakimi’ suatu sekolah adalah berkualitas. Dengan kata lain, masyarakat kita terjebak dalam asumsi sepihak bahwa factor kognitif-lah yang menjadi penentu derajad kualitas suatu lembaga pendidikan, efeknya adalah: sekolah yang berhasil meluluskan siswanya dalam ujian nasional hingga 100%, dapat dipastikan ramai pendaftar siswa baru. Keramaian tersebut didukung oleh kecemasan orang tua akan masa depan anaknya jika menuntut ilmu di sekolah yang kelulusan siswanya dalam ujian nasional mencemaskan.
     Perasaan saya mengatakan bahwa: sekolah yang meluluskan anak didiknya dalam ujian nasional hingga 100%,  kok>95% melakukan kecurangan! Kecurangan tersebut bisa dilakukan oleh institusi ataupun personal (dari murid hingga guru sendiri)…. Akar masalah adalah gengsi akan nama besar sebuah sekolah. Lalu bagaimana dengan sekolah yang tidak meluluskan peserta didiknya dalam ujian nasional hingga 100%? Kalau di generalisir ada 2 kemungkinan: pertama, 'nilai kejujuran' sangat dikedepankan oleh semua pihak dalam intitusi tersebut, atau kedua, 'Bodoh!!!' (teriak guru saya bernama Ustaz 'X' jika tidak ada satupun diantara kami yang bisa menjawab pertanyaan seputar Ilmu Falak/Hisab, lagi-lagi karena beliau ikhlas (?) menuding kami, jadinya kami malah cengar-cengir + setengah hati membenarkan. Soalnya, saya yakin selama puluhan tahun beliau mengajar kepada katakanlah 1000 siswa, yang masih ingat dengan materi yang beliau ajarkan-termasuk cara menghitungnya, bisa dihitung dengan kedua jari tangan.. ). Tentu saja, 2 kemungkinan tersebut erat terkait dengan indicator kualitas suatu lembaga pendidikan.


     Ada 8 kriteria untuk menilai suatu sekolah telah memenuhi standar pendidikan, (8 criteria of National education Standars Agency):
  1. Materi (Standards of Contents)
  2. Proses pembelajaran (Learning and Teaching Process)
  3. Kompetensi Kelulusan (Passing Grade Competence)
  4. Guru (Teachers)
  5. Infrastruktur (Infrastructure
  6. Manajemen (Management)
  7. Pendanaan/Pembiayaan (Cost and Financing)
  8. Evaluasi (Educational Evaluation)
     Tidak heran jika kemudian muncul protes menentang Ujian Nasional menjadi standar kelulusan 9?), saya juga tidak membayangkan bagaimana mungkin ada ujian yang sama standarnya bagi semua sekolah di wilayah Indonesia yang notabene tidak memiliki, paling sederhana, infrastruktus yang sama. Semisal sekolah di Jakarta dengan sekolah di Wamena
   Pertanyaannya, kalau anda disuruh memilih: pilih anak pintar (intellectual quotient) atau jujur (emotional quotient) an sich?
  Kalau saya ditanyakan hal itu saya akan menjawab bahwa “saya ingin memiliki anak yang secara intelektual bagus (pintar), emosional juga baik dan secara spiritual mencukupi syukur-syukur bisa menjadi anak yang secara material berkecukupan, sehingga dapat berbagi dengan sesama”. Bagaimana dengan anda?


Gunungkidul, 14 Januari 2010

Comments

Popular posts from this blog

Muallimin dulu, sekarang dan nanti

   Baru saja, tanpa sengaja saya menemukan sebuah leaflet tentang Muallimin Yogyakarta, saya perkirakan dicetak pada tahun 1994-an, karena di halaman belakang jumlah asramnya baru 5 tempat (asrama dekat masjid Al-barokah). Biasa-biasanya pertama menemukannya, ah.. masih ada to buku lama pikirku. Tetapi ada sesuatu yang menarik di halaman sebelum terakhir, yaitu halaman yang memuat komentar Alumni (Prof., DR. Syafii Maarif, DR. Khoiruddin Bashori., Drs. Med, Athailla A. Latif dan Zamroni A.S.,B.A.).    Buya Syafii menceritakan bagaimana kebesaran Mu’allimin sebagai sebuah mercusuar yang dikenal dalam proses pembentukan KEPRIBADIAN dan wawasan keagamaan yang diasuh oleh ulama-ulama beken seperti: KH. Jazari Hisyam, KH. Mahfudzh Siradj, Kyai Balia Umar dan sebagianya. Dalam komentarnya, Buya Syafii menegaskan akan penting Muallimin sebagai sekolah yang diperlukan dalam memberikan fondasi kepribadian dan wawasan keagamaan bagi calon-calon pejuang Islam di Neger

Sebuah Buku dan Kakek (bag. 2)

Rasa penasaran saya mulai sedikit terjawab ketika saya pulang (5-7 April 2012),  saya menyempatkan diri bermain ke rumah nenek, dan kebetulan ada bude yang datang, kemudian terjadi obrolan antara kami (nenek, ibu, paman dan bude (yang kebetulan alumni Madrasah Mu'allimaat tahun 60’an?) tentang tentang kakek, yang saya penasaran karena belum pernah bertemu.. obrolan ini akan saya buat menjadi sebuah catatan petite history, catatan berupa rangkaian cerita yang menghilangkan bentuk dialog murni seperti halnya ada dalam sebuah obrolan/percakapan yang membentuk alur cerita. Alkisah , kakek adalah satu-satunya anak lelaki (juga menjadi anak pertama) dari 9 bersaudara, dilahirkan pada tahun 1912  (tahun ini saya rasa hanya perkiraan belaka) di Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul. Tidak ada keterangan lebih detail  bagaimana kehidupan beliau dimasa kecil, tetapi ada suatu kejadian yang menarik bahwa suatu saat ketika beliau sedang di kebun tiba-tiba terlintas dalam benaknya bahwa kal

Mari Sekolah Tanpa Kekerasan

     Judul tulisan ini bisa jadi satu keganjilan bagi sebagian orang, pasalnya, suatu keganjilan ketika ada sekolah yang menyuburkan tindakan kekerasan!. Lalu sebenarnya apakah kekerasan itu betul-betul ada dalam suatu lembaga pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai kebersamaan atau keadilan bagi anggota sekolah tersebut (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa)? Kalau diibaratkan, sekolah adalah suatu keluarga. Ini yang perlu disadari oleh semua orang yang turut serta dalam proses pendidikan disebuah lembaga pendidikan, apapun bentuk lembaga tersebut!       “dunia ini adalah panggung sandiwara”, mungkin ada yang pernah mendengar lagu yang dilantunkan oleh Nicky Astria (alm) pada tahun 90-an?.. ya, dunia ini pada hakikatnya merupakan panggung sandiwara yang besar, dimana didalamnya banyak sekali jenis pemain. Sekolah (dalam konteks tulisan ini) merupakan panggung sandiwara!, pemainnya terdiri atas: Penindas (subyek), Tertindas (obyek) dan Penonton.