“kesederhanaan”, kata ini yang saya dapat ingat dari sekian cerita yang disampaikan oleh Ustaz Ismail Thaib (kebetulan hari kamis 14 januari 2010, saya bersama dengan Ustaz Asep Shalahuddin dan mas Maryono + pak Yunan) bertandang ke rumah beliau di daerah Nologaten.
Siapakah Ustaz Ismail Thaib, bagi yang berasal dari Aceh tentu mengenal sosok beliau, seingat saya beliau pernah menjadi penasehat semacam himpunan warga Aceh yang tinggal di Jogjakarta.Bagi yang tidak tahu, saya katakan beliau adalah Dosen saya sewaktu kuliah di Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Praktis, selain dengan Ustaz Asep, tiadalah beliau mengenal kami.., hanya saja, sebagaimana yang sudah saya duga, ketika melihatku, beliau berkata: “kayaknya, wajah ini kok tidak asing ya?. Dimana pernah bertemu?, kalau wajah saya masih ingat tapi kalau nama, sudah lupa”. Gubrak… saya membatin, yah… apes bener, masih ingat juga dengan wajahku… hehehe
Kemudian saya menimpali, “pak, saya mahasiswa bapak dulu di fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta”…. (tentu saja, saya tidak pernah menceritakan bagaimana ngeyelnya ketikamasuk kuliah beliau)… pada akhirnya saya hanya menceritakan: “pak, yang paling saya ingat tentang bapak adalah MEMBACA buku, kenapa?; pasalnya bapak mengecam mahasiswa yang membeli buku tetapi tidak pernah membaca seluruh isi buku”. Waktu itu saya merasa ‘tertonjok” karena tipikal saya memang beli 1 membaca separo, jadi apa yang bapak omongkan pasti saya ingat dan jadi geli sendiri.hehe…
Perlu diketahui, bahwa saya belum pernah marah, ketika ada ‘guru’ yang memarahi dan bahkan menggebuk saya?Loh, kenapa tidak marah? Karena alasan yang sederhana saja, yaitu keyakinan bahwa “beliau-beliau memarahi saya itu penuh keikhlasan, tiada tendensi apapun… entah itu ketika jadi pelajar/santri maupun jadi mahasiswa (maklum jadi mahasiswa pendiam…ra neko-neko.. sekedar flashback, sampai saat ini ada 2 kejadian penting yang membuat saya meneteskan air mata (betul-betul menangis).
- Ketika kematian sahabatku Muhammad Agung Bayu Nusantoro dari Bantul, tepatnya Pleret (bahkan dia mendapat panggilan “pleret”). Ketika meninggal, saya merasa terharu betul.
- Ketika meninggalnya KH. Zainul Muttaqien, saya juga menangis karena ingat peristiwa sepanjang tahun 1997-1998, kenangan akan sabetan sajadah yang mendarat di tubuh saya karena tertidur sewaktu pelajaran (tarjamah quran dan I’rab) ba’da shubuh di Masjid Barokah. setidaknya ada 2 orang yang sering mendapat gebukan ini, dan saya yang paling sering. …. Maafkan saya ustaz..
Akhirnya kami mengobrol di ruang tamu beliau, lebit tepat jika pertemuan kami itu disebut dengan kuliah kebetulan singkat tetapi mencerahkan. Beliau menceritakan beberapa hal yang tidak pernah saya ketahui, dari zaman ketika pertama kali beliau menginjakkan kaki di jogja: zaman revolusi-proklamasi, alasan kenapa M. Hatta yang terpilih menjadi Wapres, analisis singkat tentang Masyumi, latar belakang berdirinya IAIN dan sebagainya, bahkan sempat menyinggung dengan pluralisme..
Tidak ketinggalan adalah kisah tentang orang-orang yang “menempel” di ingatan beliau, dan asal tahu saja, sering ustaz Ismail Thaib ini mengingat seseorang itu didasarkan atas moralitas yang dimiliki oleh yang bersangkutan, setidaknya saya catat kata-kata yang ‘sering’ keluar adalah: sederhana, kejujuran dan kemampuan berbahasa.
Pertanyaannya:
- Adakah yang tahu nilai kesederhanaan dari seseorang, kokbisa-bisanya diingat sepanjang masa?Bahkan Nabi SAW adalah sosok penguasa yang sangat sederhana, padahal untuk bergelimpang kemewahan.
- Adakah keterkaitan kemampuan berbahasa dengan anggapan orang lain terhadap kualitas yang kita miliki?
Gunungkidul, 14 Januari 2010
Comments
Post a Comment
silahkan berkomentar