Skip to main content

Jangan jadi Orang Sederhana jika bukan karena pilihan!

     Tulisan akan saya mulai dengan sebuah pernyataan seorang teman, “kesederhanaan itu merupakan sebuah pilihan”
    Pernyataan ini kemudian memberikan semacam ‘stimulus’ dalam pikiran saya, apakah benar seperti itu?... ternyata dalam kehidupan modern seperti saat ini, pernyataan tersebut menemukan korelasinya (sebenarnya sih sejak zaman baheula kesederhanaan merupakan pilihan hidup bukan keterpaksaan)
    Hanya saja, memang mengartikan perwujudan sikap sederhana agar semua orang setuju bukanlah hal yang mudah, melainkan memberikan kesulitan tersendiri, sama halnya  merumuskan makna cantik… sangat relative! Artinya: bagi seorang Menteri yang memakai mobil XXX merupakan hal biasa, padahal bagi orang lain bisa jadi merupakan bentuk keangkuhan karena tidak peka dengan lingkungan.
   Ini juga yang menjadi pertanyaan besar bagi saya, dalam konteks pendidikan bisa jadi dikotomi ini dapat ditemui dalam lembaga pendidikan yang disebut dengan boarding school dan (misalnya) Pesantren disisi lain, dalam banyak hal, persepsi orang akan mengatakan bahwa yang namanya boarding school identik dengan kemewahan, mulai dari fasilitas yang wah hingga kelengkapan sarana dan prasarana yang sangat memadai.
 Sebaliknya dengan Pesantren, lembaga Pendidikan pesantren identik dengan ‘kekurangan’.. jangankan kelengkapan sarana prasarana, bahkan untuk kebutuhan pokok seperti makan juga sangat jauh dari apa yang disebut dengan 4 Sehat 5 Sempurna.
     Disinilah makna sederhana mengalami perbedaan pemaknaan dari kacamata 2 lembaga ini, Boarding school akan berpendapat bahwa mereka telah bersikap sangat sederhana karena fasilitas yang ada bukan diperuntukkan bagi personal tertentu, melainkan ditujukan untuk umum (banyak Orang). Di sisi lain, pesantren berpendapat bahwa kesederhanaan yang sebenarnya, dapat ditemui dalam sistem pendidikan mereka, karena semua hal banyak diajarkan, mulai makan seadanya, fasilitas seadanya (padahal belum tentu kata ‘seadanya’ ini adalah pilihan, melainkan karena keadaan)…
   Karena itu, silahkan anda memaknai sikap sederhana sebagai bentuk pilihan hidup atau keterpaksaan akan keadaan, saya yakin, dua-duanya memberikan implikasi yang berbeda bagi diri kita! Wallahua’lam

Comments

  1. Hidup sederhana bagi saya harus menjadi gaya hidup sehari-hari. Kesederhanaan hidup seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad perlu kita ikuti dalam kehidupan kita. Pola hidup sederhana seperti ini tetap perlu dipertahankan sampai kapan pun. Sehingga seseorang hidup di dunia ini tidak dipenuhi dengan kebermewah-mewahan yang tiada arti. :-)

    ReplyDelete

Post a Comment

silahkan berkomentar

Popular posts from this blog

Muallimin dulu, sekarang dan nanti

   Baru saja, tanpa sengaja saya menemukan sebuah leaflet tentang Muallimin Yogyakarta, saya perkirakan dicetak pada tahun 1994-an, karena di halaman belakang jumlah asramnya baru 5 tempat (asrama dekat masjid Al-barokah). Biasa-biasanya pertama menemukannya, ah.. masih ada to buku lama pikirku. Tetapi ada sesuatu yang menarik di halaman sebelum terakhir, yaitu halaman yang memuat komentar Alumni (Prof., DR. Syafii Maarif, DR. Khoiruddin Bashori., Drs. Med, Athailla A. Latif dan Zamroni A.S.,B.A.).    Buya Syafii menceritakan bagaimana kebesaran Mu’allimin sebagai sebuah mercusuar yang dikenal dalam proses pembentukan KEPRIBADIAN dan wawasan keagamaan yang diasuh oleh ulama-ulama beken seperti: KH. Jazari Hisyam, KH. Mahfudzh Siradj, Kyai Balia Umar dan sebagianya. Dalam komentarnya, Buya Syafii menegaskan akan penting Muallimin sebagai sekolah yang diperlukan dalam memberikan fondasi kepribadian dan wawasan keagamaan bagi calon-calon pejuang Islam di Neger

Sebuah Buku dan Kakek (bag. 2)

Rasa penasaran saya mulai sedikit terjawab ketika saya pulang (5-7 April 2012),  saya menyempatkan diri bermain ke rumah nenek, dan kebetulan ada bude yang datang, kemudian terjadi obrolan antara kami (nenek, ibu, paman dan bude (yang kebetulan alumni Madrasah Mu'allimaat tahun 60’an?) tentang tentang kakek, yang saya penasaran karena belum pernah bertemu.. obrolan ini akan saya buat menjadi sebuah catatan petite history, catatan berupa rangkaian cerita yang menghilangkan bentuk dialog murni seperti halnya ada dalam sebuah obrolan/percakapan yang membentuk alur cerita. Alkisah , kakek adalah satu-satunya anak lelaki (juga menjadi anak pertama) dari 9 bersaudara, dilahirkan pada tahun 1912  (tahun ini saya rasa hanya perkiraan belaka) di Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul. Tidak ada keterangan lebih detail  bagaimana kehidupan beliau dimasa kecil, tetapi ada suatu kejadian yang menarik bahwa suatu saat ketika beliau sedang di kebun tiba-tiba terlintas dalam benaknya bahwa kal

Mari Sekolah Tanpa Kekerasan

     Judul tulisan ini bisa jadi satu keganjilan bagi sebagian orang, pasalnya, suatu keganjilan ketika ada sekolah yang menyuburkan tindakan kekerasan!. Lalu sebenarnya apakah kekerasan itu betul-betul ada dalam suatu lembaga pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai kebersamaan atau keadilan bagi anggota sekolah tersebut (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa)? Kalau diibaratkan, sekolah adalah suatu keluarga. Ini yang perlu disadari oleh semua orang yang turut serta dalam proses pendidikan disebuah lembaga pendidikan, apapun bentuk lembaga tersebut!       “dunia ini adalah panggung sandiwara”, mungkin ada yang pernah mendengar lagu yang dilantunkan oleh Nicky Astria (alm) pada tahun 90-an?.. ya, dunia ini pada hakikatnya merupakan panggung sandiwara yang besar, dimana didalamnya banyak sekali jenis pemain. Sekolah (dalam konteks tulisan ini) merupakan panggung sandiwara!, pemainnya terdiri atas: Penindas (subyek), Tertindas (obyek) dan Penonton.