Skip to main content

Catatan Akhir Tahun 2011 (bag. 2)

         Kegagalan saya pergi ke Purwokerto, membuat saya terpikir untuk pergi ke Lampung, selain sudah setahun tidak kesana lagi-lagi kebetulan disana ada temen juga, malamnya saya online, saya ngobrol dengan adik kelas saya yang berasal dari lampung, ujung-ujungnya saya bertanya kondisi angkutan dari Jogja ke Lampung. Apa jawabnya? Setali tiga uang, kondisi angkutan dari Jogja ke lampung saat liburan akhir tahun seperti ini juga ramai dan padat!!.
Akhirnya, saya putuskan untuk tidak kemana-mana, terpikirkan untuk pulang saja esok harinya. Dan saya kemudian tidur… paginya (Kamis, 29 Desember 2011), ada beberapa sms dari temen kuliah yang masuk di hape (sebut namanya IHSAN):

IHSAN    : “Neng ndi posisi?” (dimana posisi?)
SAYA      : “masih di jogja, gimana?”
IHSAN    : “jadi ke Purwokerto?”… “yang datang siapa saja?”… “terus acarane kapan? yang sudah dijogja siapa saja?”
SAYA      : “gak jadi ke purwokerto, untuk pertemuan di Jogja, kita lihat saja nanti, coba hubungi kang X dan Y”
IHSAN    : bewwwh… kok gak jelas begini gimana? Aku sudh di Jogja ki? Wkwkwkwk…
Sms lain ada aja yang berbunyi: “selamat datang di kota satria!”, saya bales: “waduuh, maaf nih, batal ke purwokerto karena kehabisan tiket”, dibales lagi: “Huuu.. Ra mutu”…. Saya Cuma nyengir saja baca sms balesan itu. Hehehe
kiri-kanan: temen  di Purwokerto, 
ahli manajemen konflik, dan Ihsan 
Kembali ke sms teman saya bernama Ihsan, setelah bla-bla.. ahirnya kita sepakat bertemu di Kampus untuk membicarakan suatu hal (lebih tepatnya bagi pengalaman tentang banyak hal).. cukup lama kita di kampus, banyak hal yang kita obrolin, mulai dari idealisme kampus, realitas yang ada dimasyarakat, persaingan yang tidak sehat sesama pendidik hingga posisi kita di masyarakat. Akhirnya waktu salat Dzuhur tiba, kita akhirnya bersama pergi ke Masjid Kampus, (bergantian) saya menunggu tas teman saya yang berwudhu, ketika saya menunggu itulah ada ada dialog yang menjadi tema pokok tulisan ini, sebuah dialog yang luar biasa. (mungkin secara utuh dialog tidak saya ingat persis, tetapi temanya Insya Allah tidak akan melenceng jauh). Bagaimana ceritanya?
Ketika saya menungguin tas teman yang lagi wudhu, dari kejauhan (diselasar masjid), saya melihat ada seorang anak muda (bertubuh coklat-gelap khas Indonesia, bertampang wajah ‘kampung’, polos, berpakaian sederhana_antara baju dan celana tidak sesuai dari segi keelokan busana) menenteng sebuah boks plastik cukup besar dan tertempel kertas, yang kemudian saya ketahui kertas diboks itu bertuliskan “SUSU KEDELAI RP. 1500”. Anak muda ini berjalan dengan langkah tidak terlalu cepat (untuk tidak dikatakan gontai) menuju tempat wudhu, dalam hati saya sudah kepikiran bawa anak muda nan sederhana ini PASTI Mahasiswa yang nyambi jualan!!, apakah feeling saya bener?
Anak muda tersebut berjalan kearah tempat wudhu _dan otomatis harus lewat ditempat saya berdiri menunggu temen yang sedang berwudhu, saya pandangi saja anak muda tersebut (bukan pandangan mengancam, tetapi pandangan rasa kagum dan salut loh..:)). Mungkin karena merasa dipandangi penuh rasa ingin tahu, anak muda tersebut melempar senyum balasan khas orang kampung(an) kepada saya.._saya katakan kampungan bukan bermaksud melecehkan, tetapi kampungan dalam arti senyum ketulusan dan kepolosan yang seringnya dijumpai ketika bertemu seseorang disebuah kampung yang jauh dari hiruk pikuk ‘kekotoran’ Kota.
Dengan tetap tersenyum, dia mendekat kearah saya, disinilah saya kemudian membuka percakapan,
Saya (S)                                 : “mas, jualan ya?”
Anak muda (AM)               : “iya pak” (sial.. kenapa anak ini panggil saya pak?, batin saya :D)
S              : “masnya kuliah di sini (UIN Sunan Kalijaga)?’
AM         : “iya pak, saya kuliah disini’
S              : “semester berapa dan faklutas apa?’
AM         : ‘saya baru semester 1 pak, kuliah di fakultas Tarbiyah…’
S              : ‘wah, luar biasa… jujur saja, saya salut dan bangga zaman ini masih ada orang kayak mas
AM         : ‘terima kasih pak, ya beginilah pak…’
S              : ‘lah emang masnya dari mana asalnya?’
AM         : ‘dari Ngawi pak’ (Ngawi merupakan salahsatu Kabupaten di Jawa timur, jika anda hendak ke Surabaya dari Jogja atau Solo, pasti lebih suka melalui daerah ini
S              : “lah masnya jualan apa saja?”
AM         : ‘ini pak, ada susu kedelai, sama roti’
S              : ‘loh kok kayak sudah habis dagangannya?’
AM         : ‘Alhamdulillah pak, tinggal 3 roti’
Kemudian AM tersebut menceritakan secara singkat bagaimana lika-liku dia berjualan, mulai pemesanan barang (susu dan roti), hingga boks yang ‘hanya’ titipan, hingga strategi dia memilih barang-barang dagangan yang disesuaikan dengan kondisi (misal liburan, dia akan lebih banyak memilih barang yang tahan lama 2-3 hari jika kemungkinan tidak terjualnya lebih besar. Tersellipnya juga informasi bahwa ada satu-dua dosen yang beli kepadanya, juga teman-temannya.
Sempet saya menanyakan pada dirinya, “masnya gak malu kalo pas jualan dilihat temen-temennya?”, mahasiswa itu menjawab polos:’ pertama kali sih malu pak, tetapi lama kelamaan sudah biasa”. Dasar saya emang sering bergaul dengan para pendidik, akhir kebawa juga sikap ‘mendidik’nya, dengan keluarnya kata-kata: “wah, bagus tuh mas, sikap anda sudah betul, jangan malu.. toh yang anda kerjakan tidak semua orang bisa kok.. lagipula, orang-orang kaya sering lahir dari latar belakang manusia yang tidak takut malu… ^_^”..
‘amiiin pak, doakan yaa pak’ timpal mahasiswa itu dengan senyum kepolosan. “penting jangan dilupakan kewajiban belajarnya ya”  saya membalas. Mahasiswa itupun berlalu hendak menunaikan ibadah salat dzuhhur di masjid, dan temen saya juga selesai berwudhu …  oiya, saya juga sempet bicara tentang sedikit latar belakang mahasiswa tersebut. Sepanjang pengakuannya, dia ke Jogja untuk kuliah dengan mayoritas biaya sendiri (saya tidak tahu entah benar atau tidak, tapi dari wajah polosnya sih kayaknya beneran..)… “kamu pasti anak sulung?” tanya saya, mahasiswa itu menjawab: “iya pak, saya punya dua adik, keduanya dirumah, masih sekolah”… sebelum dia melanjutkan, saya potong saja: “bagus kalau begitu, apa yang kamu lakukan sangat bagus menjadi contoh bagi kedua adikmu, the show must go on.. teruskan ya, saya yakin kamu berhasil kok, saya doakan deh..:).
Selesai berwudhu, dan sepanjang masuk ke masjid… saya celingukan cari mahasiswa itu, ada sesuatu yang mengganjal dihati… di dalam masjid juga saya tidak bisa menemukan sosok yang bawa boks, saya tidak tahu entah dimana dia… saya MENYESAL tidak membeli sisa 3 butir roti jualan mahasiswa itu, aih-aih.. walaupun habis pulang dari kantin, perut cukup terisi..
Sekalipun tidak akan makan roti itu karena sudah kenyang, muncul pertanyaan: “kenapa saya enggan sekedar membeli roti itu??! How stupid I am?!, bukankah penjual itu mahasiswa yang perlu uang?”.. kenapa saya tidak mau menyisihkan barang beberapa ribu saja untuk membeli roti, bukankah kalo saya beli roti itu, roti itu bisa saya makan di lain hari, bisa dikasih temen lain… kenapa dan kenapa lainnya silih berganti menghiasi pikiran?”
Benarlah kata orang-orang tua:
-          Kalau niat berbuat baik, secepatnya realisasikan, jangan menunggu diwaktu nanti dan nanti, kenapa? Karena kamu akan menyesal… menyesal itu pasti jatuhnya setelah kejadian, bukan diawal!.
Saya pun mengambil pelajaran dari obrolan ini:
-          ‘Open mind’ akan membuat diri kita nyaman bicara dengan siapapun _bahkan dengan orang yang baru kita kenal, kejujuran juga sangat indah, ketulusan akan membantu kita memahami orang lain
-          Masih banyak orang yang mementingkan ilmu dibandingkan materi….
Ah… untung temen saya ngajak ke XXI, dengan filmnya mbah sherlock holmes… karena letih dan celakanya, berada di kursi depan sehingga kurang nyaman bagi saya, sempet juga mata saya merem.. J

Comments

Post a Comment

silahkan berkomentar

Popular posts from this blog

Muallimin dulu, sekarang dan nanti

   Baru saja, tanpa sengaja saya menemukan sebuah leaflet tentang Muallimin Yogyakarta, saya perkirakan dicetak pada tahun 1994-an, karena di halaman belakang jumlah asramnya baru 5 tempat (asrama dekat masjid Al-barokah). Biasa-biasanya pertama menemukannya, ah.. masih ada to buku lama pikirku. Tetapi ada sesuatu yang menarik di halaman sebelum terakhir, yaitu halaman yang memuat komentar Alumni (Prof., DR. Syafii Maarif, DR. Khoiruddin Bashori., Drs. Med, Athailla A. Latif dan Zamroni A.S.,B.A.).    Buya Syafii menceritakan bagaimana kebesaran Mu’allimin sebagai sebuah mercusuar yang dikenal dalam proses pembentukan KEPRIBADIAN dan wawasan keagamaan yang diasuh oleh ulama-ulama beken seperti: KH. Jazari Hisyam, KH. Mahfudzh Siradj, Kyai Balia Umar dan sebagianya. Dalam komentarnya, Buya Syafii menegaskan akan penting Muallimin sebagai sekolah yang diperlukan dalam memberikan fondasi kepribadian dan wawasan keagamaan bagi calon-calon pejuang Islam di Neger

Sebuah Buku dan Kakek (bag. 2)

Rasa penasaran saya mulai sedikit terjawab ketika saya pulang (5-7 April 2012),  saya menyempatkan diri bermain ke rumah nenek, dan kebetulan ada bude yang datang, kemudian terjadi obrolan antara kami (nenek, ibu, paman dan bude (yang kebetulan alumni Madrasah Mu'allimaat tahun 60’an?) tentang tentang kakek, yang saya penasaran karena belum pernah bertemu.. obrolan ini akan saya buat menjadi sebuah catatan petite history, catatan berupa rangkaian cerita yang menghilangkan bentuk dialog murni seperti halnya ada dalam sebuah obrolan/percakapan yang membentuk alur cerita. Alkisah , kakek adalah satu-satunya anak lelaki (juga menjadi anak pertama) dari 9 bersaudara, dilahirkan pada tahun 1912  (tahun ini saya rasa hanya perkiraan belaka) di Karang Tengah, Wonosari, Gunungkidul. Tidak ada keterangan lebih detail  bagaimana kehidupan beliau dimasa kecil, tetapi ada suatu kejadian yang menarik bahwa suatu saat ketika beliau sedang di kebun tiba-tiba terlintas dalam benaknya bahwa kal

Mari Sekolah Tanpa Kekerasan

     Judul tulisan ini bisa jadi satu keganjilan bagi sebagian orang, pasalnya, suatu keganjilan ketika ada sekolah yang menyuburkan tindakan kekerasan!. Lalu sebenarnya apakah kekerasan itu betul-betul ada dalam suatu lembaga pendidikan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai kebersamaan atau keadilan bagi anggota sekolah tersebut (pendidik, tenaga kependidikan dan siswa)? Kalau diibaratkan, sekolah adalah suatu keluarga. Ini yang perlu disadari oleh semua orang yang turut serta dalam proses pendidikan disebuah lembaga pendidikan, apapun bentuk lembaga tersebut!       “dunia ini adalah panggung sandiwara”, mungkin ada yang pernah mendengar lagu yang dilantunkan oleh Nicky Astria (alm) pada tahun 90-an?.. ya, dunia ini pada hakikatnya merupakan panggung sandiwara yang besar, dimana didalamnya banyak sekali jenis pemain. Sekolah (dalam konteks tulisan ini) merupakan panggung sandiwara!, pemainnya terdiri atas: Penindas (subyek), Tertindas (obyek) dan Penonton.